Monday, July 25, 2016
In:
Artikel
SETITIK CAHAYA DARI TIMUR
Happy Monday, today i would like to share my bestfriend story. little bit, ini cerita dateng dari pengalaman pribadi dia yang agak di mix dikit. trust me, gak ada perubahan apapun di cerpen dia. so, enjoy the story deh ya ;) #happysharing
keywords : story , cerpen, cerita pendek, romantic story, cerita romantis,
______________________________________________________________________________
“Saya
ingin melanjtukan S2, Ma!”
***
Suara teriakan itu kembali terdengar dari salah satu
ruangan di rumah kontrakan itu. Ya, sama seperti hari-hari sebelumnya, Aldi
selalu bertengkar dengan bu Helmi, Mamanya. Walaupun pertengkaran dan
perdebatan itu terjadi lewat telepon, tapi cukuplah bagiku untuk mengetahui apa
yang mereka perdebatkan. Dan yang terjadi berikutnya sangatlah mudah ditebak.
Suara tangisan dari wanita diseberang selalu menjadi penutup perdebatan panjang
antara mereka. Terkadang, Aldi melunakkan suaranya saat mendengar tangisan
Mamanya. Ia seakan tak tega menyakiti hati wanita yang telah melahirkannya itu.
Namun di sisi lain, Ia sangat kecewa dengan keputusan Mamanya yang selalu
mengaitkan impiannya dengan masalah keluarga mereka. Bukan tidak ingin Aldi
pulang dan berkumpul dengan keluarga yang telah 4 tahun ditinggalkannya. Tapi
ada secercah kekhawatiran dalam diri Aldi. Ia khawatir ketika Ia pulang nanti,
Ia tidak dapat memenuhi impian orangtuanya untuk bekerja seperti apa yang
mereka harapkan. Karena memang saat ini sulit untuk menjadi seorang dosen
dengan hanya berbekal ijazah S1 yang dimilikinya. Teringat suatu ketika Aldi
mengungkapkan keluhannya padaku, “Lulusan S1 sekarang bisa apa? Cari pekerjaan
yang sesuai keinginan bakalan susah.
Kamu tahu kan, aku ingin jadi dosen
Ca?”. Aldi memang sangat bercita-cita menjadi dosen. Baginya, cukuplah ia
mengikuti keinginan orangtuanya untuk kuliah di jurusan pendidikan yang
sebenarnya tidak diinginkannya. Namun sekarang, ia ingin mewujudkan
cita-citanya untuk melanjutkan S2 dan menjadi dosen.
***
Tidak lama lagi Bu Helmi akan tiba di Jogjakarta. Beliau
ingin menghadiri wisuda anak laki-laki kebanggaannya ini. Hati Aldi semakin
tidak karuan. Di satu sisi Ia sangat rindu dan ingin bertemu Mamanya. Namun di
sisi lain, Ia takut jika Mamanya nanti kembali memaksanya untuk pulang dan
bekerja disana. “Aku harus gimana Ca?
Kalau nanti tiba-tiba aku diculik Mama untuk pulang ke Papua gimana?” candanya padaku pada suatu
hari. “Lha kok nanya aku? Kamu pasti
tahu mana yang terbaik buat kamu Di,” sahutku. “Ah, aku nggak mau pulang Ca. Aku masih mau di sini. Kamu nggak kangen nih sama aku kalau aku
pulang?” tanyanya. “Di, aku lebih baik berpisah sementara sama kamu tapi kamu
bisa sukses di sana daripada harus menahan kamu di sini tapi kamu malah stuck dan kebingungan” sahutku. Ya, aku
dan Aldi memang telah menjalin persahabatan yang lama. Dan aku tahu semua
cerita tentang kegelisahan dan kebingungannya selama ini. “Sebentar lagi Mamaku
akan tiba di sini dan aku masih belum menentukan keputusan yang akan aku
ambil,” keluh Aldi. “Wah, sebentar lagi anak Mami ini bakal pulang nih hahaha,” candaku. “Ca, stop ngatain aku anak Mami.
Aku beneran lagi kebingungan ini,” sahutnya. “Iya Di maaf hehehe. Kamu udah
dewasa loh Di. Sebagai sahabat aku hanya bisa ngasih dukungan buat kamu apapun
keputusanmu,” sahutku. “Tapi Ca, aku masih nggak
setuju sama pilihan orangtuaku. Aku benci setiap kali mereka memaksaku untuk
memenuhi keinginan mereka yang terkadang nggak
masuk akal itu,” bantah Aldi. “Sekarang aku tanya deh Di, udah berapa tahun
kamu nggak ketemu keluargamu? 4 tahun kan? I suggest you to go back to your
home because we don’t know what will happened tomorrow,” sahutku. Aldi terdiam
mendengar kata-kataku. “Oke aku tahu yang harus aku lakukan Ca,” sahut Aldi
mengakhiri percakapan kami.
***
Hari ini adalah hari yang sangat menentukan bagi Aldi.
Semenjak kedatangan Mama dan Adiknya beberapa hari yang lalu, ia berubah
menjadi seorang yang lebih optimis. Mungkin karena telah bertemu dan berbicara
langsung dengan Mamanya, ia sudah bisa menentukan langkah yang harus ia ambil.
Wisuda tinggal beberapa hari lagi. Dan Aldi semakin sibuk mempersiapkan segala
sesuatunya. Jadilah aku yang menemani Mama dan adiknya kemana-mana. Di suatu
sore saat aku dan Bu Helmi sedang ngobrol, beliau bertanya padaku dengan logat
khasnya, “Nak, apakah Aldi pernah bercerita padamu tentang masalahnya?”, kata
Bu Helmi. “Iya Bu, pernah. Kami sudah bersahabat lama Bu jadi Aldi sudah
bercerita semuanya padaku,” sahutku. “Ibu hanya ingin yang terbaik untuk dia
dan masa depannya Nak.. Ibu tidak ingin dia menderita seperti Ibu dulu.. Ibu
ingin dia mendapatkan kehidupan yang layak di masa yang akan datang dengan
keluarganya… Jadi Ibu putuskan untuk membawa dia pulang kembali ke kampung
halamannya di Papua…,” kata Bu Helmi. Matanya berkaca-kaca saat bercerita
kepadaku. “Dulu saat ia kecil, Ibu tidak bisa memberikan mainan seperti
anak-anak yang lain. Dia juga tidak bisa bermain bersama teman-temannya setiap
hari karena ia harus membantu Ibu menjaga adik-adiknya dirumah selagi Ibu
bekerja di luar..,” lanjutnya. Aku hanya
terdiam menyimak cerita Bu Helmi. “Ibu tidak ingin masa kecilnya yang susah itu
kembali terulang sekarang Nak.. Ibu masih ingat bagaimana dulu saat SD ia
berjuang membantu Ibu berjualan gorengan di sekolah dan ditegur oleh
guru-gurunya karena berjualan di sekolah.. Tapi dia tidak malu… Dia tetap
dengan sabar membantu Ibu berjualan..,” kata Bu Helmi sambil menyeka air
matanya. Diam-diam mataku mulai berkaca-kaca saat melihat Bu Helmi meneteskan
air matanya. Seakan turut merasakan apa yang dirasakan Bu Helmi saat itu. Dalam
hati aku merasa bersyukur telah dikaruniai keluarga yang begitu menyayangiku
sehingga hidupku tidak seperti Aldi. Aku menyadari mungkin masih banyak
orang-orang diluar sana yang bernasib sama atau bahkan lebih susah dari Aldi
dulu.
***
Sinar mentari sore seakan menjadi saksi kesedihan dan
keharuan yang menyelimuti perasaan kami. Tak terasa telah banyak yang
diceritakan Bu helmi kepadaku. Tentang kehidupan, tentang perjuangan, tentang
cinta dan kasih sayang. Bagiku, Bu Helmi sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri.
Karena dari beliaulah aku mulai memahami arti sayangnya seorang Ibu yang
kadang-kadang sering aku salah artikan maksudnya.
***
Hari bahagia itupun tiba. Aldi lulus dengan IPK tertinggi
di fakultasnya. Rona dan bahagia terpancar dari wajah Bu Helmi. Bagaimana
tidak, anak laki-laki yang paling disayanginya telah membanggakannya hari ini.
“Terimakasih Ma, berkat Mama akhirnya Aldi bisa lulus kuliah dan membanggakan
Mama,” kata Aldi ketika kami makan siang bersama merayakan kelulusannya. Bu
Helmi hanya tersenyum mendengar perkataan anaknya. “Ma, Aldi ingin bilang
sesuatu. Aldi sudah memutuskan apa yang akan Aldi lakukan. Aldi akan pulang
kembali ke Papua bersama Mama. Aldi akan mencari kerja disana dan merawat Bapak
dan Mama di rumah,” lanjutnya. “Alhamdulillah… Iya Nak.. Mama senang sekali
mendengarnya.. Maafkan Mama tidak mengizinkanmu untuk menggapai mimpimu
disini.. Tapi yakinlah Nak.. Suatu hari nanti Mama akan kembali melihatmu
sukses di sana… amin…,” sahut Bu Helmi sambil meneteskan air mata.
***
Dan siang itu menjadi akhir dari kegelisahan Aldi selama
ini. Dengan berbesar hati ia menyetujui keinginan orangtuanya untuk kembali ke
Papua. Harapan untuk tetap dapat melanjutkan S2 masih tetap terpancar di
matanya. Namun ia berhasil mengalahkan egonya itu. Ia sadar keluarga lebih
penting dari apapun. Dan ia percaya bahwa suatu saat Ia akan mewujudkan
mimpinya tersebut. Mungkin ini akan menjadi hari perpisahan bagiku dan Aldi.
Persahabatan yang telah kami jalin selama 4 tahun akan terpisah sementara. Mulai
hari ini kami akan memulai hidup yang sebenarnya. Hari dimana kami akan
benar-benar menemukan apa artinya perjuangan dan pengorbanan. Kami berjanji
akan saling member kabar dan suatu saat nanti akan bertemu dengan kesuksesan di
tangan masing-masing.
***
“Terimakasih Ca, kamu bener-bener
udah jadi malaikat aku selama ini. Udah banyak bantuin aku, udah banyak aku
susahin. Maaf ya kalo selama ini aku banyak salah dan selalu nyusahin kamu,”
kata Aldi di stasiun pagi itu. Ya, pagi ini Aldi akan pulang ke Papua. Aku
bersama beberapa orang teman ikut mengantarkannya ke stasiun. “Iya Di
sama-sama. Janji ya nggak bakal sombong. Harus saling kabar-kabaran kalo udah
disana,” sahutku. Kembali, pagi menjadi saksi perpisahan kami. Terimakasih
semesta. Terimakasih telah mengenalkanku pada Aldi Renaldy. Seorang anak
berkulit hitam dari Timur yang semangatnya selalu membara. Setitik cahaya yang
selalu bersinar terang dan tak pernah meredup. Semoga perpisahan ini bukan
menjadi akhir dari pertemuan kami.
***
“Tunggulah, suatu hari nanti aku akan menjemputmu Ca,”
bisik Aldi sambil tersenyum di telingaku. Aku hanya terdiam dan membisu. Ya,
Aldi memang penuh misteri.
Yogyakarta, 11
Maret 2016
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment